Selasa, 11 Oktober 2011


METODE PERHITUNGAN CADANGAN
STANDAR USGS

            Perhitungan sumberdaya dan cadangan batubara merupakan hal yang sangat penting dalam kegiatan eksplorasi. Dalam hal ini penulis menggunakan metode circular United States Geological Survey ( USGS, 1983 ) yang merupakan pengembangan dari sistem blok dan perhitungan volume biasa. Sistem USGS ini dianggap sesuai untuk diterapkan dalam perhitungan sumberdaya batubara, karena sistem ini ditujukan pada pengukuran bahan galian yang berbentuk perlapisan ( tabular ) yang memiliki ketebalan dan kemiringan lapisan yang relatif konsisten. Sumberdaya yang dihitung dari sumberdaya terukur ( measured coal ) dan sumberdaya terunjuk ( indicated coal ), yang keduanya termasuk kedalam jenis sumberdaya demonstrated coal. Prosedur atau teknik perhitungan dalam sistem USGS adalah dengan membuat lingkaran-lingkaran ( setengah lingkaran ) pada setiap titik informasi endapan batubara, yaitu singkapan batubara dan lokasi titik pemboran ( Gambar 1 ).
Daerah dalam radius lingkaran 0-400 m adalah untuk perhitungan sumberdaya terukur dan daerah radius 400-1200 m adalah untuk perhitungan sumberdaya terunjuk (USGS/Wood dkk, 1983).
Teknik perhitungan seperti diatas hanya berlaku untuk kemiringan lapisan lebih kecil atau sama dengan 30°. Sedangkan untuk batubara dengan kemiringan lapisan lebih besar dari 30° caranya adalah mencari harga proyeksi radius lingkaran-lingkaran tersebut kepermukaan terlebih dahulu ( Gambar 2 ).
Selain itu aspek-aspek geologi daerah penelitian seperti perlipatan, sesar, intrusi dan singkapan batubara di permukaan, ikut mengontrol perhitungan sumberdaya batubara ( Gambar 3 ).


Untuk perhitungan tonase (w) batubara digunakan rumus sebagai berikut :
            W = L x t x Bj
Keterangan :
            L          = Luas daerah terhitung (m²)
            t           = Tebal rata-rata batubara sejenis (m)
            Bj        = Berat jenis batubara (ton/m³)  



Gambar 1. Teknik perhitungan cadangan batubara berdasarkan sistem United States Geological Survey ( USGS, 1983 )





Gambar 2. Cara perhitungan cadangan batubara dengan kemiringan ≤ 30 ° dan kemiringan >30°
( USGS, 1983 )




 

Gambar 3. Kontrol struktur pada batas sumberdaya batubara ( USGS, 1983 )




Gambar 4. Contoh hasil pembuatan peta sumberdaya dengan metode USGS

TINGKATAN BATUBARA


Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batu bara umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut.

Antrasit adalah kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.

Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari beratnya. Kelas batu bara yang paling banyak ditambang di Australia.

Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.

Lignit atau batu bara coklat adalah batu bara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari beratnya.

Gambut adalah cikal bakal batubara, cirinya  berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling rendah.

Proses perubahan sisa-sisa tanaman menjadi gambut hingga batu bara disebut dengan istilah pembatu baraan (coalification). Secara ringkas ada 2 tahap proses yang terjadi, yakni:
    • Tahap Diagenetik atau Biokimia, dimulai pada saat material tanaman terdeposisi hingga lignit terbentuk. Agen utama yang berperan dalam proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat oksidasi dan gangguan biologis yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi) dan kompaksi material organik serta membentuk gambut.
    • Tahap Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit menjadi bituminus dan akhirnya antrasit.

CARA TERBENTUKNYA BATUBARA

Batubara terbentuk dengan cara yang sangat kompleks dan memerlukan waktu yang lama (puluhan sampai ratusan juta tahun) dibawah pengaruh fisika, kimia dan keadaan geologi. Untuk memahami bagaimana batubara terbentuk dari tumbuh-tumbuhan perlu diketahui dimana batubara terbentuk dari tumbuh-tumbuhan perlu diketahui dimana batubara terbentuk dan faktor-faktor yang akan mempengaruhinya serta bentuk lapisan batubara.

Tempat Terbentuknya Batubara
Ada 2 macam teori yang menyatakan tempat terbentuknya batubara, yaitu :

A. Teori Insitu

Teori ini menyatakan bahwa bahan-bahan pembenrtuk lapisan batubara terbentuknya ditempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengalami proses transportasi, segera tertimbun oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar abunya relatif kecil, Dapat dijumpai pada lapangan batubara Muara Enim (SumSel).

B. Teori Drift

Teori ini menyatakan bahwa bahan-bahan pembenrtuk lapisan batubara terbentuknya ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian setelah tumbuhan tersebut mati, diangkut oleh media air dan berakumulasi disuatu tempat, segera tertimbun oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas tetapi dijumpai dibeberapa tempat, kualitasnya kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi. Dapat dijumpai pada lapangan batubara delta Mahakam Purba, Kaltim.

Faktor yang Berpengaruh
Batubara terbentuk dengan cara yang kompleks dan memerlukan waktu yang lama (puluhan sampai ratusan juta tahun) dibawah pengaruh fisika, kimia ataupun keadaan geologi. Faktor yang berpengaruh pada pembentukan batubara, yaitu :
a. Posisi Geotektonik
Merupakan suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi gaya-gaya tektonik lempeng. Posisi ini mempengaruhi iklim lokal dan morfologi cekungan pengendapan batubara maupun kecepatan penurunannya.

b. Morfologi (Topografi)

Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting karena menentukan penyebaran rawa-rawa dimana batubara tersebut terbentuk.

c. Iklim

Kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan merupakan faktor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisi yang sesuai. Tergantung pada posisi geografi dan dipengaruhi oleh posisi geotektonik.

d. Penurunan

Dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik. Jika penurunan dan pengendapan gambut seimbang akan dihasilkan endapan batubara tebal.

e. Umur Geologi

Posisi geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan berbagai macam tumbuhan. Dalam masa perkembangannya secara tidak langsung membahas sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa organik. Makin tua umur batuan makin dalam penimbunan yang tejadi, sehingga terbentuk batubara yang bermutu tinggi. Tetapi pada batubara yang mempunyai umur geologi lebih tua selalu ada resiko mengalami deformasi tektonik yang membentuk struktur perlipatan atau patahan pada lapisan batubara.
f. Tumbuhan

Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara. Pertumbuhan dari flora terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim dan topografi tertentu, merupakan faktor penentu terbentuknya berbagai type batubara.

g. Dekomposisi
Dekomposisi flora merupakan bagian dari transformasi biokimia dari organik merupakan titik awal untuk seluruh alterasi. Dalam pertumbuhan gambut, sisa tumbuhan akan mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati, proses degradasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan (decay) akan terjadi oleh kerja mikrobiologi (bakteri anaerob). Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti celulosa, protoplasma dan pati.
Dari proses diatas terjadi perubahan dari kayu menjadi lignit dan batubara berbitumen. Dalam suasana kekurangan oksigen terjadi proses biokimia yang berakibat keluarnya air (H2O) dan sebagian unsur karbon akan hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan methan (CH4). Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut jumlah relatif unsur karbon akan bertambah. Kecepatan pembentukan gambut tergantung pada kecepatan perkembangan tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan tertutup oleh air dengan cepat, maka akan terhindar oleh proses pembusukan, tetapi terjadi proses disintegrasi atau penguraian oleh mikrobiologi. Bila tumbuhan yang telah mati terlalu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembentukan gambut akan berkurang, sehingga hanya bagian keras saja tertinggal yang menyulitkan penguraian oleh mikrobiologi.

h. Sejarah sesudah pengendapan
Sejarah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geotektonik yang mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan batubara. Secara singkat terjadi proses geokimia dan metamorfosa organik setelah pengendapan gambut.

i. Struktur cekungan batubara
Terbentuknya batubara pada cekungan batubara umumnya mengalami deformasi oleh gaya tektonik, yang akan menghasilkan lapisan batubara dengan bentuk tertentu.

j. Metamorfosa organik

Tingkat kedua dalam pembentukan batubara adalah penimbunan atau penguburan oleh sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi biokimia tidak berperan lagi tetapi lebih didominasi oleh proses dinamokimia. Proses ini menyebabkan terjadinya perubahan gambut menjadi batubara dalam berbagai mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab, oksigen dan zat terbang (seperti CO2, CO, CH4 dan gas lainnya) serta bertambahnya prosentase karbon padat, belerang dan kandungan abu. Perubahan mutu batubara diakibatkkan oleh faktor tekanan dan waktu. Tekanan dapat disebabkan oleh lapisan sedimen penutup yang sangat tebal atau karena tektonik.
Terbentuknya Lapisan Batubara Tebal

Lapisan batubara tebal merupakan deposit batubara yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Salah satu syarat yang dapat membentuk lapisan batubara tebal adalah apabila terdapat suatu cekungan yang oleh karena beban pengendapan bahan-bahan pembentuk batubara diatasnya mengakibatkan dasar cekungan tersebut turun secara perlahan-lahan.

Cekungan ini umumnya terdapat didaerah rawa-rawa (hutan bakau) ditepi pantai. Dasar cekungan yang turun secara perlahan-lahan dengan pembentukan batubara memungkinkan permukaan air laut akan tetap dan kondisi rawa stabil. Apabila karena proses geologi dasar cekungan turun secara cepat, maka air laut akan masuk dalam cekungan sehingga menyebabkan kondisi rawa menjadi kondisi laut.

Akibatnya diatas lapisan pembentuk batubara akan terendapkan lapisan sedimen laut antara lain batugamping. Pada tahap selanjutnya akan terkumpul dan terendapkan bahan-bahan pembentuk batubara (sisa tumbuhan) diatas lapisan batu lempung (clystone). Demikian seterusnya sehingga terbentuk lapisan batubara dengan diselingi oleh lapisan antara yang berupa batu gamping dan batu lempung. Tidak jarang dijumpai lapisan batubara sering terbentuk lapisan antara yang berupa batulempung yang disebut dengan clayband atau clay parting.

Reaksi Pembentukan Batubara

Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan mati dengan komposisi utama cellulose. Proses pembentukan batubara atau coalification yang dibantu oleh faktor fisika, kimia alam akan mengubah cellulose menjadi lignit, subbitumene dan antrasit. Reaksi pembentukan batubara adalah sebagai berikut :

5(C6H10O5) ------> C20H22O4 + 3 CH4 + 8 H2O + 6 CO2 + CO

cellulose lignit methan

Keterangan :
Cellulosa (zat organik) yang merupakan zat pembentuk batubara. Unsur C dalam lignit lebih sedikit dibanding bitumine. Semakin banyak unsur C lignit semakin baik mutunya. Unsur H dalam lignit lebih banyak ketimbang pada bitumene. Semakin banyak unsur H lignit makin kurang baik mutunya. Senyawa CH4 (methan) lignit semakin baik kualitasnya.

Gas-gas yang terbentuk selama proses coalification akan masuk dalam celah-celah vein batulempung dan ini sangat berbahaya. Gas methan yang sudah terakumulasi didalam celah vein, terlebih-lebih apabila terjadi kenaikan temperatur, karena tidak dapat keluar, sewaktu-waktu dapat meledak dan terjadi kebakaran. Oleh sebab itu mengetahui bentuk deposit batubara dapat menentukan cara penambangan yang akan dipilih dan juga meningkatkan keselamatan kerja.

Bentuk Lapisan Batubara
Bentuk cekungan, proses sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah proses coalification akan menentukan bentuk lapisan batubara. Dikenal beberapa bentuk lapisan batubara, yaitu :

a. Bentuk Horse Back

Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan batubara dan batuan yang menutupinya melengkung kearah atas akibat gaya kompresi. Ketebalan kearah lateral lapisan batubara kemungkinan sama ataupun menjadi lebih kecil atau menipis.

b. Bentuk Pinch

Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis dibagian tengah. Pada umumnya dasar dari lapisan batubara merupakan batuan yang plastis misalnya batulempung, sedang diatas lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan pengisian suatu alur.

c. Bentuk Clay Vein

Bentuk ini terjadi apabila diantara 2 bagian deposit batubara terdapat urat lempung. Bentukan ini terjadi apabila pada satu seri deposit batubara mengalami patahan, kemudian pada bidang patahan yang merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung ataupun pasir.

d. Bentuk Burried Hill

Bentuk ini terjadi apabila didaerah dimana batubara semula terbentuk terdapat suatu kulminasi sehingga lapisan batubara seperti terintrusi.

e. Bentuk Fault

Bentuk ini terjadi apabila didaerah dimana deposit batubara mengalami beberapa seri patahan. Keadaan ini akan mengacaukan didalam perhitungan cadangan, akibat adanya perpindahan perlapisan akibat pergeseran kearah vertikal

f. Bentuk Fold

Bentuk ini terjadi apabila didaerah dimana deposit batubara mengalami perlipatan. Makin intensif gaya yang bekerja pembentuk perlipatan akan makin kompleks perlipatan tersebut terjadi.


(sumber: Batubara & Gambut, Ir. Sukandarrumidi, MSc. Ph.D)

LINGKUNGAN PENGENDAPAN FLUVIO DELTAIK

I. SISTEM FLUVIAL

Fluvial merupakan aktivitas aliran sungai, terdapat empat macam sungai yaitu straight, anastomosing, meandering dan braided. Sungai anastomosing dipisahkan oleh pulau alluvial permanen, yang ditutupi tumbuhan yang lebat yang distabilisasi oleh bank sungai. braiding (anyaman) juga naik dengan cepat, fluktuasi cepat pada pemberhentian sungai, kecepatan tinggi dari pasokan sedimen kasar, dan mudah tererosi. Sungai yang mempengaruhi sistem fluvial adalah :

I.1. Straight
Suatu channel dengan bentuk straight didominasi oleh lempung dengan intensitas kelokan yang kecil, terbentuk karana perpindahan arus pada pasir atau kelompok-kelompok bar, segmen channel jarang terbentuk pada jarak yang panjang.

I.2. Anastomosing
Sungai anastomosing dipisahkan pulau alluvial yang permanen dan ditutupi dengan tumbukan yang lebat yang distabilisasi oleh bank sungai. Braided (anyaman)juga naik dengan cepat, fluktuasi cepat pada pemberhentian sungai, kecepatan tinggi dari pasokan sedimen kasar dan mudah tererosi.

I.3. Meander
Sistem ini didominasi oleh material dengan butiran halus dan memperlihatkan distribusi butiran menghalus ke atas. Struktur sedimen yang berkembang merefleksikan berkurangnya arus yang bekerja, yaitu through cross bedding pada bagian bawah dan paralel laminasi pada bagian channel.
Penampang log elektrik merefleksikan arah umum menghalus ke atas yang terbagi ke dalam tiga subfasies utama yang menghasilkan pengendapan pada tiga sublingkungan yang berbeda :
·Subfasies Flood Plain
Subfasies flood plain terdiri dari endapan batupasir yang sangat halus, batulanau dan batulempung yang diendapkan pada daerah overbank floodplain sungai. Struktur sedimen yang berkembang adalah laminasi ripple mark dan kadang-kadang terdapat horizon batupasir yang mengisi struktur shrinkage yang diasumsikan terdapat pada daerah subaerial.
·Subfasies Channel
Pada subfasies channel terjadi perpindahan lateral channel meander yang mengerosi bagian luar dari tepi sungai yang cekung, menggerus dasar sungai dan endapan sedimen pada point bar. Proses tersebut menghasilkan karakteristik sikuen pada ukuran butir dan struktur sedimen. Pada dasar permukaan bidang erosi diisi oleh material sedimen berbutir kasar, mud pellet dan sisa-sisa kayu. Endapan tersebut disebut sebagai lag deposit pada dasar channel dan ditindih oleh sikuen batupasir dengan distribusi butiran menghalus ke atas.
·Subfasies Abandoned Channel
Pada subfasies abandoned channel terdapat endapan batupasir halus berbentuk tapal kuda dan biasanya disebut oxbow lake yang terbentuk ketika sungai meander memotong bagian lain dari permukaan di sekitar sungai tersebut. Endapan pada subfasies ini serupa dengan endapan pada subfasies floodplain, tetapi dapat dibedakan dari geometrinya yaitu endapan yang menindih abrasi channel lag konglomerat tidak terdapat selang dengan sikuen batupasir point bar.

I.4. Braided
Braided dihasilkan oleh channel dengan intensitas kelokan yang kecil dan kaya akan material pasir yang terbentuk oleh tingkat intensitas aliran air yang kecil diantara bar-bar channel. Struktur sedimen yang terbentuk dan merefleksikan pengendapan pada saat itu antara lain : tabular crossbedding, punggungan bar yang lurus memanjang dan pada log menunjukkan bentuk blocky. Pada daerah ini, pengerosian terjadi dengan cepat dengan proses pengisian sedimen yang cepat dikarenakan sungai pada sistem ini mempunyai kelebihan material sedimen. Sikuen sedimentasi pada sistem braided ini pada umumnya didominasi oleh material sedimen berbutir kasar dengan sedikit material sedimen berbutir halus pada bagian atasnya.

II. SISTEM DELTA
Delta merupakan garis pantai yang menjorok ke laut, terbentuk oleh adanya sedimentasi sungai yang memasuki laut, danau atau laguna dan pasokan sedimen lebih besar daripada kemampuan pendistribusian kembali oleh proses yang ada pada cekungan pengendapan (Elliot, 1986 dalam Allen, 1997). Menurut Boggs (1987), delta diartikan sebagai suatu endapan yang terbentuk oleh proses sedimentasi fluvial yang memasuki tubuh air yang tenang. Dataran delta menunjukkandaerah di belakang garis pantai dan dataran delta bagian atas didominasi oleh proses sungai dan dapat dibedakan dengan dataran delta bagian bawah didominasi oleh pengaruh laut, terutama penggenangan tidal. Delta terbentuk karena adanya suplai material sedimentasi dari sistem fluvial. Ketika sungai-sungai pada sistem fluvial tersebut bertemu dengan laut, perubahan arah arus yang menyebabkan penyebaran air sungai dan akumulasi pengendapan yang cepat terhadap material sedimen dari sungai mengakibatkan terbentuknya delta. Bersamaan dengan pembentukan delta tersebut, terbentuk pula morfologi delta yang khas dan dapat dikenali pada setiap sistem yang ada. Morfologi delta secara umum terdiri dari tiga, yaitu : delta plain, delta front dan prodelta.

II.1. Delta Plain
Delta plain merupakan bagian delta yang bersifat subaerial yang terdiri dari channel yang sudah ditinggalkan. Delta plain merupakan baigan daratan dari delta dan terdiri atas endapan sungai yang lebih dominan daripada endapan laut dan membentuk suatu daratan rawa-rawa yang didominasi oleh material sedimen berbutir halus, seperti serpih organik dan batubara.Pada kondisi iklim yang cenderung kering (semi-arid),sedimen yang terbentuk didominasi oleh lempung dan evaporit. Daratan delta plain tersebut digerus oleh channel pensuplai material sedimen yang disebut fluvial distributaries dan membentuk suatu percabangan. Gerusan-gerusan tersebut biasanya mencapai kedalaman 5-10 meter dan menggerussampai pada sedimen delta front. Sedimen pada channel tersebut disebut sandy channel dan membentuk distributary channel yang dicirikan oleh batupasir lempungan. Sublingkungan delta plain dibagi menjadi :

II.1.1. Upper Delta Plain
Pada bagian ini terletak diatas area tidal atau laut dan endapannya secara umum terdiri dari :
  • Endapan distributary channel
Endapan distributary channel terdiri dari endapan braided dan meandering, levee dan endapan point bar. Endapan distributary channel ditandai dengan adanya bidang erosi pada bagian dasar urutan fasies dan menunjukkan kecenderungan menghalus ke atas. Struktur sedimen yang umumnya dijumpai adalah cross bedding, ripple cross stratification, scour and fill dan lensa-lensa lempung. Endapan point bar terbentuk apabila terputus dari channel-ya. Sedangkan levee alami berasosiasi dengan distributary channel sebagai tanggul alam yang memisahkan dengan interdistributary channel. Sedimen pada bagian iniberupa pasir halus dan rombakan material organik serta lempung yang terbentuk sebagai hasil luapan material selama terjadi banjir.
  • Lacustrine delta fill dan endapan interdistributary flood plain
Endapan interdistributary channel merupakan endapan yang terdapat diantara distributary channel. Lingkungan ini mempunyai kecepatan arus paling kecil, dangkal, tidak berelief dan proses akumulasi sedimen lambat. Pada interdistributary channel dan flood plain area terbentuk suatu endapan yang berukuran lanau sampai lempung yang sangat dominan. Struktur sedimennya adalah laminasi yang sejajar dan burrowing structure endapan pasir yang bersifat lokal, tipis dan kadang hadir sebagai pengaruh gelombang .

II.1.2. Lower Delta Plain
Lower delta plain terletak pada daerah dimana terjadi interaksi antara sungai dengan laut, yaitu dari low tidemark sampai batas kehadiran yang dipengaruhi pasang-surut. Pada lingkungan ini endapannya meliputi endapan pengisi teluk (bay fill deposit) meliputi interdistributary bay, tanggul alam, rawa dan crevasse slay, serta endapan pengisi distributary yang ditinggalkan.

II.2. Delta Front
Delta front merupakan sublingkungan dengan energi yang tinggi dan sedimen secara tetap dipengaruhi oleh adanya proses pasang-surut, arus laut sepanjang pantai dan aksi gelombang. Delta front terbentuk pada lingkungan laut dangkal dan akumulasi sedimennya berasal dari distributary channel. Batupasir yang diendapkan dari distributary channel tersebut membentuk endapan bar yang berdekatan dengan teluk atau mulut distributary channel tersebut. Pada penampang stratigrafi, endapan bar tersebut memperlihatkan distribusi butiran mengkasar ke atas dalam skala yang besar dan menunjukkan perubahan fasies secara vertikal ke atas, mulai dari endapan lepas pantai atau prodelta yang berukuran butir halus ke fasies garis pantai yang didominasi batupasir. Endapan tersebut dapat menjadi reservoir hidrokarbon yang baik. Diantara bar pada mulut distributary channel akan terakumulasi lempung lanauan atau lempung pasiran dan bergradasi menjadi lempung ke arah laut.
Menurut Coleman (1969) dan Fisher (1969) dalam Galloway (1990), lingkungan pengendapan delta front dapat dibagi menjadi beberapa sublingkungan dengan karakteristik asosiasi fasies yang berbeda, yaitu :
  • Subaqueous Levees
Merupakan kenampakan fasies endapan delta front yang berasosiasi dengan active channel mouth bar. Fasies ini sulit diidentifikasi dan dibedakan dengan fasies lainnya pada endapan delta masa lampau.
  • Channel
Channel ditandai dengan adanya bidang erosi pada bagian dasar urutan fasies dan menghalus ke atas. Struktur sedimen yang umumnya dijumpai adalah cross bedding, ripple cross stratification, scoure and fill.
  • Distributary Mouth Bar
Pada lingkungan ini terjadi pengendapan dengan kecepatan yang paling tinggi dalam sistem pengendapan delta. Sedimen umumnya tersusun atas pasir yang diendapkan melalui proses fluvial. Strukur sedimen yang dapat dijumpai antara lain : current ripple, cross bedding dan massive graded bedding.
  • Distal Bar
Pada distal bar, urutan fasies cenderung menghalus ke atas, umumnya ersusun atas pasir halus. Struktur sedimen yang umumnya dijumpai antara lain : laminasi, perlapisan silang siur tipe through.

II.3. Prodelta
Prodelta merupakan sublingkungan transisi antara delta front dan endapan normal marine shelf yang berada di luar delta front. Prodelta merupakan kelanjutan delta front ke arah laut dengan perubahan litologi dari batupasir bar ke endapan batulempung dan selalu ditandai oleh zona lempungan tanpa pasir. Daerah ini merupakan bagian distal dari delta, dimana hanya terdiri dari akumulasi lanau dan lempung dan biasanya sendiri serta fasies mengkasar ke atas memperlihatkan transisi dari lempungan prodelta ke fasies yang lebih batupasir dari delta front. Litologi dari prodelta ini banyak ditemukan bioturbasi yang merupakan karakteristik endapan laut. Struktur sedimen bioturbasi bermacam-macam sesuai dengan ukuran sedimen dan kecepatan sedimennya. Struktur deformasi sedimen dapat dijumpai pada lingkungan ini, sedangkan struktur sedimen akibat aktivitas gelombang jarang dijumpai. Prodelta ini kadang-kadang sulit dibedakan dengan endapan paparan (shelf), tetapi pada prodelta ini sedimennya lebih tipis dan memperlihatkan pengaruh proses endapan laut yang tegas.

III. KLASIFIKASI DELTA
Menurut Galloway (1975) dan Serra (1990), berdasarkan proses yang berpengaruhi didalamnya, delta dapat diklasifikasikan menjadi 3 , yaitu :

III.1. Fluvial Dominated Delta
Ini terjadi jika gelombang, arus pasang surut, dan arus sepanjang pantai lemah, volume sedimen yang dibawa dari sungai tinggi, maka akan terjadi progradasi yang cepat ka arah laut dan akan berkembang suatu variasi karakteristik dari lingkungan pengendapan yang didominasi sungai.
oGeometri : channel (delta plain) dan sheet (delta front). Kontinuitas tubuh batupasir jelek (channel) sampai sedang (distributary mount bar).
oLitologi dan struktur :
-Channel fasies : batupasir dengan cross bedding (through dan plannar), kontak dasar erosi, rip-up clast/fragmen batubara, sekuen halus ke atas.
-Marsh fasies : batubara, batulempung dengan rootles.
-Bay fasies : batulempung dengan acak binatang.
-Crevasse-splay facies : sekuen kasar ke atas (sortasi baik ke atas).
-Distributary mount bar : batupasir dengan cross laimnasi, paralel laminasi.
-Bar facies : climbing ripple, mika melimpah, material karbon, struktur deformasi.
-Distal bar fasies : batulanau dan batulempung, paralel laminasi, climbing ripple, material karbon, struktur deformasi, acak binatang.
-Prodelta facies : batulempung dengan struktur deformasi.
-Refleksi seismik : oblique dan sigmoid clinoform.
Pada bagian ini mempunyai bentuk channel dan sheet dengan kontinuitas tubuh pasir jelek sampai sedang. Delta yang didominasi sungai dicirikan dengan batupasir dan batulanau yang masif sampai berlapis baik dan mungkin memperlihatkan graded bedding. Pasir delta front memperlihatkan banyaknya pengaruh sungai dalam pengendapan distribusi lingkungan mouth bar. Jumlah bioturbasi bervariasi tergantung pada rata-rata sedimentasi dan ukuran butir dari suplai sedimen. Variasi pembelokan dalam sistem fluvial biasanya menghasilkan suatu pengkasaran ke arah atas yang tidak teratur.
Progradasi ke arah laut yang sangat cepat membuat delta tipe ini memiliki sekuen coarsening upward (mengkasar keatas). Geometri endapan yang dihasilkan dari tipe delta ini yaitu berbentuk lobate dengan mekanisme akresi lateral yang kuat sehingga menghasilkan lentikuler units. Batupasir cenderung menjadi lentikuler sampai tabular untuk distributary mount bar, bergradasi menjadi sand sheets.

III.2. Wave Dominated Delta
Delta yang didominasi gelombang dan biasanya terdiri dari rangkaian fasies yang saling berhubungan dan mengkasar ke atas secara menerus yang merupakan karakteristik dari pantai yang dipengaruhi gelombang. Struktur sedimen yang umum dijumpai antara lain : ripple dan humocky yang merupakan indikator pengendapan yang tinggi.
Pada lingkungan dengan aktivitas gelombang kuat, endapan mount bar secara menerus mengalami reworked menjadi suatu seri superimposed coastal barriers. Tubuh pasir akan cenderung paralel terhadap garis pantai berbeda dengan delta dominasi sungai yang mendekati tegak lurus terhadap pantai.
Litologi dan struktur sedimen :
a.fasies pantai dan pantai penghalang (barrier beach) dominan.
b.Fasies distributary mount bar termodifikasi/reworked menjadi punggungan pantai.
c.Secara keseluruhan menunjukkan sekuen mengkasar ka atas.
d.Struktur yang dijumpai pada tipe ini adalah perlapisan tipis, paralel laminasi, dan cross bedding satu arah, struktur flaser, slumps, struktur alga, bioturbasi dengan intensitas tinggi pada bagian atas dan mudcrack pada shale.

III.3. Tide-Influence Delta
Merupakan area dimana tingkat pasang surut tinggi, sehingga aliran balik (yang terjadi dalam distributary channel selama kondisi banjir dan surut) kemungkinan akan terjadi sumber energi utama yang memisah sedimen.
oGometri : channel dan ridge, kontinuits batupasir berukuran butir kasar-sedang, arah sebaran tegak lurus panatai.
oLitologi dan struktur :
-Tidal channel dan ridge facies sangat dominan.
-Channel facies : batupasir dengan sortasi baik, herringbone, cross bedding.
-Sekuen yang dijumpai pada delta tipe ini yaitu coarsening upward yang diikuti dengan fining upward, tanpa batas yang jelas, tergantung pada posisi delta.
Lingkungan ini menunjukkan kombinasi pengaruh dari sungai, gelombang dan proses pasang-surut. Lingkungan ini mempunyai bentuk geometri channel dan ridge dengan kenampakan kontinuitas batupasir jelek sampai sedang dengan penyebaran tegak garis pantai. Struktur sedimen yang umumnya berkembang adalah laminasi dan ripple. Masuknya pasang-surut pada delta front yang berprogradasi, seperti pada Mahakam juga memeperlihatkan beberapa pengasaran ke atas. Smith, et al (1990) dalam Allen (1997) telah mendiskripsikan ritme pasang-surut dengan indikator pasang-surut dalam pasir delta front adalah hearingbone cross bedding.

IV.DAUR SEDIMEN DELTA
Fasies delta termasuk fasies yang unik terbentuk oleh perulangan banyak sekuen susut delta dan dapat membentuk endapan yang sangat tebal disebabkan akumulasi endapan dari puluhan bahkan ratusan individu sekuen delta.Turun naiknya muka air laut yang tidak konstan menyebabkan siklus penggenangan dan penurunan permukaan air laut yang tidak merata di setiap bagian sekuen delta meskipun secara lateral jaraknya hanya terpisah beberapa meter.
Perulangan daur susut genang laut dengan ketebalan puluhan meter adalah tipe endapan pantai dan endapan delta. Hal ini menunjukan bahwa dalam beberapa interval stratigrafi, garis pantai dapat berpindah puluhan atau ratusan kilometer ke arah depan ataupun ke arah belakang dengan perubahan lingkungan pengendapan dari lepas pantai ke arah dataran delta (delta plain) maupun sebaliknya.
Secara umum mekanisme daur progradasi dan peninggalan delta sebagai berikut :
1.Awalnya bagian delta tertentu adalah zona aktif pemasukan sedimen, delta berprogradasi di atas paparan.
2.Kecepatan progradasi pada saat tertentu akan berkurang akibat delta yang berprogradasi di atas paparan, meningkatnya jumlah channel dan pengangkutan material sedimennya, meningkatnya laju penurunannya cekungan ke arah paparan. Hal ini mengakibatkan channel akan berpindah secara lateral mengikuti kemiringan gradien hidroliknya dengan jarak tertentu dari delta lama.
3.Pada saat yang sama delta lama mengalami penurunan sehingga gelombang pasang laut mempengaruhi suplai endapan, dengan diendapkannya endapan genang laut berupa karbonat atau serpih marine.
4.Berkembangnya endapan batubara tebal yang merupakan lapisan penanda (marker bed) berakhirnya daur genang laut pada bagian darat delta lama (fluvial delta plain abadonment) setelah mengalami penurunan maka endapan ini akan tertutup oleh endapan genang laut.
5.Dalam interval waktu tertentu, tempat pengendapan delta dapat kembali berpindah di atas delta lama dengan terbentuknya endapan susut laut deltaik di atas endapan genang laut menghasilkan lobate (kuping delta).Mekanisme ini terus berlangsung sehingga terjadi daur perentangan vertikal (vertikal stacking cycle) yang disusun oleh sistem susut-genang laut setempat
V. DATARAN PASANG SURUT (TIDAL FLAT)
Dataran pasang surut (tidal flat) luasnya dapat mencapai beberapa kilometer dan terbentuk disekitar laguna, belakangbarrier, pada estuarin dan delta yang didominasi oleh pasang surut (tidal). Ciri struktur sedimen dari pertengahan sampai bagian atas tidal flat merupakan variasi jenis dari ripple lamination yang umumnya memperlihatkan pola interferensi, yaitu kenaikan dari flaser, wavy dan lenticular bedding. Meandering tidal creeks memotong tidal flat dan perpindahan lateralnya menghasilkan set pada laminasi pasir dan struktur channel. Umumnya terdapat burrow dan grazing trace fossil. Progradasi sedimen tidal flat biasanya membentuk sikuen yang menghalus ke arah atas, ditutupi oleh tanah atau lapisan evaporasi sabkha, dengan ketebalan ditunjukkan oleh jarak pasang surut purba (paleotidal).

VI. ESTUARIN
Estuarin menutupi lembah sungai (incised valley) hasil dari penarikan muka air laut yang cepat pada kala Holosen. Tubuh pasir estuarin berlokasidan berbatasan dengan saluran utama (main channel) dan terdiri dari sedimen yang dibawa ke bawah oleh sungai dan disuplai dari batas marine shelf, mud flatdan rawa yang juga terbentuk pada estuarin. Tubuh batupasir marin pada estuarin didominasi oleh gelombang yang juga merupakan gabungan yang terdiri dari beberapa fasies yang berlainan. Pada fase tansgresif, beberapa atau semua kompleks bar tererosi di sepanjang perulangan muka pantai (shoreface) dan ditutupi oleh permukaan ravinement. Lingkungan pengendapan tersebut berhubungan sampai estuary mouth dan central basin area. Tubuh pasir marin mungkin terlindungi lebih atau kurang lengkap pada saat progradasi dengan sedimen muka pantai dan pantai melalui endapan washover, flat tidal dan tidal inlet. Pada profil vertikal, secara ideal endapan cekungan berbutir halus memperlihatkan butiran yang simetris. Endapan yang halus terlihat pada tengah cekungan. Pada estuarin, proses yang dominan adalah pasang-surut, tubuh pasir seperti erosional truncation atau completely removed oleh migrasi headward dari saluran pasang-surut (tidal channel) terpisah dari pasir bar (sand bar). Erosi oleh saluran sepanjang transgresi juga menyebabkan silang siur atau laminasi sejajar dari sand bar. Pola urutan pengendapan dari fasies sebagai hasil dari transgresi ini akan menunjukkan kecenderungan menghalus ke atas

FASIES
Fasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki kombinasi karakteristik yang khas dilihat dari litologi, struktur sedimen dan struktur biologi memperlihatkan aspek fasies yang berbeda dari tubuh batuan yang yang ada di bawah, atas dan di sekelilingnya. Fasies umumnya dikelompokkan ke dalam facies association dimana fasies-fasies tersebut berhubungan secara genetis sehingga asosiasi fasies ini memiliki arti lingkungan. Dalam skala lebih luas asosiasi fasies bisa disebut atau dipandang sebagai basic architectural element dari suatu lingkungan pengendapan yang khas sehingga akan memberikan makna bentuk tiga dimensi tubuhnya (Walker dan James, 1992).
Menurut Slley (1985), fasies sedimen adalah suatu satuan batuan yang dapat dikenali dan dibedakan dengan satuan batuan yang lain atas dasar geometri, litologi, struktur sedimen, fosil, dan pola arus purbanya.
Fasies sedimen merupakan produk dari proses pengendapan batuan sedimen di dalam suatu jenis lingkungan pengendapannya. Diagnosa lingkungan pengendapan tersebut dapat dilakukan berdasarkan analisa faises sedimen, yang merangkum hasil interpretasi dari berbagai data, diantaranya :
1.Geometri :
a)regional dan lokal dari seismik (misal : progradasi, regresi, reef dan chanel)
b)intra-reservoir dari wireline log (ketebalan dan distribusi reservoir)
2.Litologi : dari cutting, dan core (glaukonit, carboneous detritus)dikombinasi dengan log sumur (GR dan SP)
3.Paleontologi : dari fosil yang diamati dari cutting, core, atau side wall core
4.Struktur sedimen : dari core
Menurut Sam Boggs, 1987, ada dua tipe utama perubahan fasies vertikal yaitu:
1. Coarsening-Upward Succession
Coarsening-Upward Succession menunjukan adanya suatu peningkatan dalam besar butir dari suatu dasar yang erosive atau tajam. Perubahan ini mengindikasikan peningkatan dalam kekuatan arus transportasi pada saat pengendapan.
2. Fining-Upward Succession
Fining-Upward Succession adalah perubahan besar butir ke arah atas menjadi lebih halus ke top yang erosive atau tajam.Perubahan ini menunjukan penurunankekuatan arus transportasi pada saat pengendapan.
Geometri dan penyebaran batuan ditentukan oleh fasies atau lingkungan pengendapan. Bentuk, ukuran dan orientasi reservoir tergantung mekanisme pengendapannya. Mempelajari lingkungan pengendapan purba umumnya dimulai dengan penampang stratigrafi dan korelasinya untuk menandai tipe batuannya, geometri tiga dimensinya serta struktur sedimen internalnya (Walker dan James, 1992).
1.Geometri
Umumnya geometri tergantung dari proses pengendapan yang berlangsung pada lingkungan sedimentasinya. Seluruh bentuk dari fasies sedimen adalah fungsi dari topografi sebelum pengendapan, geomorfologi lingkungan pengendapan, dan sejarah setelah pengendapan.
2.Litologi
Litologi pada fasies sedimen merupakan salah satu parameter yang penting untuk mengobservasi dan interpretasi lingkungan pengendapan.
3.Struktur sedimen
Struktur sedimen dalam lingkungan pengendapan dapat memberikan indikasi dari kedalaman, level energi, kecepatan hidrolik dan arah arus.
4.Paleocurrent
Paleocurrent atau arus purba merupakan arus yang dapat diidentifikasi dari pola-pola struktur sedimen yang terbentuk pada masa pengendapan dan peleogeografis.
Ada tiga parameter dalam membedakan fasies sedimen, yaitu :

oParameter fisik : temperatur, kedalaman air, kecepatan arus, sinar matahari, kecepatan angin, dan arahnya.
oParameter kimia : komposisi air (salinitas), mineralogi (auchthonus atau allochthpnus).
oParameter biologi : soil, tumbuhan darat, tumbuhan air, dan binatang.

Kenampakan Geologi Lapisan Batubara


Perkembangan kenampakan geologi di sekitar lapisan batubara disebabkan oleh proses-proses yang terjadi pada lapisan gambut, sifat fisika dan kimia lapisan batubara itu sendiri serta material bukan batubara yang berbeda-beda. Macam-macam kenampakan geologi pada lapisan batubara, antara lain :

Plies, bands dan partings


Lapisan batubara bisa terdiri dari batubara dengan tipe berbeda, atau terdiri dari material bukan batubara yang beraneka ragam. Kehadiran lapisan batubara ini dapat digunkan untuk membagi lapisan batubara kedalam satuan yang lebih kecil disebut “ benches, atau plies”.
Lapisan bukan batubara disebut ”bands”, atau “partings”. Istilah seperti “clay bands” atau dirt bands” kadang digunakan untuk menggambarkan material dari suatu litologi. Ada juga istilah “penny bands” untuk mengindikasikan ketebalan.
Litologi dari beberapa bands menurut istilah Jerman disebut tonstein (secara kepustakaan disebut claystone) atau istilah Amerika disebut “flint clay” paling umum digunakan dimana material memiliki tekstur peletoidal atau menunjukkan pecahan konkoidal dan didominasi oleh mineral kaolin yang mengkristal dengan baik.
Penegertian parting digunakan di lapangan geologi batubara menjadi 2 macam :
  1. sebagai sinonim band, yaitu lapisan bukan batubara yang memisahkan lapisan batubara yang satu dengan yang lain secara relatif.
  2. untuk menjelaskan bidang sejajar sepanjang satu lapisan, baik itu lapisan batubara atau lapisan bukan batubara secara fisik dengan mudah.
Perbedaan pengertian ini penting dijelaskan dalam kegiatan persiapan penambangan seperti adanya lapisan batubara yang bercabang akan mempengaruhi penggalian atau penambangannya. Istilah “plane of parting” mungkin cocok untuk menggambarkan suatu bidang yang tidak menerus akibat gangguan sesar atau splitting.
“Bands” merupakan lapisan yang terdiri dari material yang bukan batubara, terjadi karena suplai akumulasi sedimen klastik telah melebihi akumulasi gambut. Sedimen klastik ini mungkin menunjukkan endapan over bank atau dataran banjir yang berasal dari sungai yang terdekat atau dari debu vulkanik yang berasal dari sumber di luar lingkungan rawa. Ini mungkin juga dibentuk oleh mineral residu gambut yang teroksidasi, seperti yang terjadi akibat pengeringan rawa selama waktu terbentuknya batubara.
“Plies” merupakan kumpulan dari maseral yang berbeda atau berasal dari bermacam sifat dasar tumbuhan rawa atau lingkungan pengendapannya selama pembentukan batubara.
Plies atau bands bukan batubara tidak selalu membentuk lapisan yang seragam dan tetap, khususnya jika mencakup daerah yang luas.
Penentuan pola ply yang baik dapat memberikan keuntungan yang besar dalam menjelaskan arah kualitas batubara di dalam operasi penambangan. Tentunya membutuhkan sejumlah besar data bawah permukaan atau data bor, data petrografi batubara yang dapat untuk menunjang sejumlah analisis “ply by ply”.

Splits dalam lapisan batubara

Kemenerusan lateral lapisan batubara di lapangan sering terbelah pada jarak yang relatif dekat oleh sedimen bukan batubara yang membaji kemudian membentuk dua lapisan batubara yang terpisah dan disebut autosedimentational split. Macam-macam bentuk spilt :
  1. Simple splitting
Adalah split sederhana yang terjadi akibat kehadiran tubuh lentikuler yang besar dari sedimen bukan batubara.
  1. Proggresif splitting
Bila terdiri dari beberapa lensa, maka splitting dapat berkembang secara terus menerus.
  1. Zig zag splitting
Terjadi pada suatu lapisan batubara yang terbelah dan kemudian bergabung dengan lapisan batubara lain.
Split sangat penting dalam geologi batubara. Pemahaman yang baik tentang split dapat membantu dalam penentuan sebaran lapisan batubara yang ekonomis, dan perhitungan cadangan. Bentuk split dengan kemiringan 45o yang disertai oleh perubahan kekompakan pada batuan akan menimbulkan masalah dalam kegiatan tambang terbuka, kestabilan lereng, dan kestabilan atap dalam penambangan bawah tanah.

Washout dan roof rolls

“Washout” merupakan tubuh lentikuler sedimen, biasanya batupasir, yang menonjol ke bawah dan menggantikan sebagian atau seluruh lapisan batubara yang ada. Umumnya memanjang atau berbelok-belok, dan menggambarkan struktur scour and fill dibentuk oleh aktivitas channel berasosiasi dengan akumulasi gambut.
Ukuran washout bervariasi  baik tebal maupun pelamparannya. Washout mungkin dengan luas yang kecil, channel yang tidak beraturan pada atap lapisan, biasanya disebut roof rolls sebagai akibat palechannel utama.
Sebagian besar struktur washout diisi oleh batupasir, meskipun kerikil batubara atau konglomeratt kerikilan dapat juga hadir. Hal ini mencerminkan meander cut off dan paleochannel.
Washout dan roof rolls merupakan masalah utama dalam operasi penambangan. Ketebalan lapisan dan ketidakmenerusan lapisan batubara akibat terisi channel, sehingga itu tentu memerlukan kebijaksanaan. Demikian juga dengan peralatan yang digunakan untuk menggali batubara sering menemui kesulitan untuk menembus material bukan batubara yang telah menggantikan posisi lapisan batubara, terutama pada tambang bawah tanah.
Struktur washout merupakan bagian mendasar dalam penelitian geologi untuk kepentingan perencanaan penambangan dan pengembangannya.

Floor rolls

Floor roll terdiri dari material batuan yang berupa punggungan, panjang, sempit, dan subparalel, yang menonjol kedalam lapisan batubara dari dasar lapisan. Seperti halnya roof rolls, floor roll akan mangakibatkan ketebalan lapisan batubara berkurang.
Floor roll sering diterangkan sebagai intrusi lapisan ke dalam lapisan lain akibat pengembangan hidrasi and aktivitas tektonik. Menurut Diessel dan Moelle (1970), roof roll dibentuk oleh kegiatan sungai selama tahap awal akumulasi tanah gambut.

Clastic dyke dan injection struktures

“Clastic dyke” merupakan tubuh membaji atau melembar dari material sedimentasi yang memotong melintang lapisan batubara.
Pada umumnya menunjukkan pengisian retakan-retakan dalam gambut atau batubara oleh endapan sedimen diatasnya. Retakan ini dapat berhubungan dengan kekar atau pergerakan sesar minor dan hal ini dapat menambah masalah tentang kestabilan lapisan atap di dalam operasi penambangan bawah tanah (Ellenberger, 1979; Krause et al 1979).meskipun kebanyakan struktur ini menyerupai endapan roof roll, tampak beberapa pembebanan yang tidak menerus dari tanah gambut lunak oleh material pasir. Lapisan-lapisan batubara melengkung akibat pembebanan, sementara material pengisi yang biasanya terlipat dan terubah bentuknya (Nelson, 1979 dalam Ward, 1984). Struktur ini umumnya menyertai sesar-sesar, dan kekar-kekar, serta struktur ini pun menyebabkan ketidakstabilan pada penambangan bawah tanah.

Cleat

Pengkekaran dalam batubara, khususnya batubara bituminous, umumnya menunjukkan pola cleat. Hal ini ditunjukkan oleh serangkaian retakan yang sejajar, biasanya berorientasi tegak lurus perlapisan. Satu rangkaian retakan disebut “ face cleat”, biasanya dominan dengan bidang individu yang lurus dan kokoh sepanjang beberapa meter.  Pola lainnya yang disebut “ butt cleat” , retakannya lebih pendek, sering melengkung dan cenderung berakhir pada bidang face cleat.jarak antar bidang cleat bervariasi dari 1mm sampai sekitar 30 cm. Bidang cleat sering diisi oleh unsur mineral atau karbonat, lempung, jenis sulfida, atau sulfat dapat secara umum nampak pada permukaan batubara yang mengelupas.
Orientasi face cleat merupakan salah satu faktor penting di dalam pengontrolan perencanaan penambangan bawah tanah. Demikian juga untuk operasi penambangan yang menggunakan alat bajak atau hidrolik, maka arah penbambangan dan hubungannya dengan pola cleat sangat mempengaruhi dalam kemudahan penggalian batubara.
Jarak cleat juga berpengaruh terhadap ukuran partikel batubara yang dihasilkan, apakah berupa fine coal atau lumpy coal. Hal ini penting dalam perencanaan tambang karena berkait dengan aspek penumpukan, pengangkutan, pemanfaatan, harga dan pemasaran. Pola cleat dapat juga dhubungkan dengan terjadinya ledakan gas dalam tambang bawah tanah.
Terjadinya cleat pada hubungannya dengan pola kekar pada lapisan pembawa batubara, sehingga dapat digunakan untuk menghubungkan pula cleat dengan struktur geologi suatu daerah. Face cleat tampaknya sangat umum sebagai hasil dari perpanjangan rekahan dalam bidang sejajar dengan paleostress kompresif maksimum suatu daerah ( Nickelsen & Hough 1967; Hanes & Shepherd 1981), meskipun melibatkan faktor lain seperti gangguan shear, tetapi dikatakan juga bahwa pembentukan butt cleat kurang jelas, mungkin berkaitan dengan sejarah pembentukan batubara dan proses pengendapan dari lapisan-lapisan yang bersangkutan.

Intrusi batuan beku pada lapisan batubara

Karena material organik dalam batubara mengalami perubahan mendasar apabila dipanaskan, adanya intrusi batuan beku memiliki pengaruh yang besar pada lapisan batubara daripada yang dialami oleh batuan bukan batubara. Batubara yang dekat dengan tubuh intrusi batuan beku, secara lokal meningkat derajatnya sehubungan dengan meningkatan panas yang menyertainya.
Intrusi batuan beku biasanya berkembang menjadi komplek, dimana pada titik pertemuan antara tubuh intrusi dengan lapisan batubara membentuk kontak yang meliuk. Hal ini berhubungan dengan perilaku plastik dari bahan organik karena pemanasan serta berkurangnya kandungan air didalam batubara.
“Cinder coal” (batubara terarangkan) akibat intrusi, biasanya lemah, massanya porous dengan pola belahan hexagonal. Dalam banyak hal cinder coal kurang mempunyai nilai ekonomi, dengan demikian cinder menunjukkan hilangnya sebagian lapisan batubara yang dapat ditambang. Dari sudut peningkatan derajat batuabara, mungkin lebih menguntungkan dari segi ekonomi jika pengaruh cinder coal tidak terbentuk.

Batuan yang biasanya berasosiasi dengan lapisan batubara

Batuan yang sering ditemukan di dalam atau dekat dengan lapisan batubara adalah batuan sedimen klastika halus seperti batulempung, batulanau, serpih dan batupasir. Juga kaolin seperti “flint clay” dan “underclay” material siliceous seperti chert dan gannister serta endapan ferrigenous seperti mudstone siderit dan clay ironstone termasuk yang berasosiasi dengan batubara.
Beberapa material di atas hanya diminati secara akademik, tetapi sekarang mulai diperhatikan karena mempunyai arti industri, seperti underclay.
Struktur sedimen sangat membantu didalam interpretasi lingkungan pengendapan dan yang banyak dijumpai berasosiasi dengan lapisan batubara adalah perlapisan silangsiur, laminasi sejajar, laminasi bergelombang, laminasi karbonan (carbonaceous laminae), coal strings, konkresi, dan cetak beban.

Batulempung kaolinit

Istilah batulempung kaolinit digunakan oleh Loughnan (1978) untuk menggambarkan sebuah individu khusus dari batuan sedimen masif yang terbentuk dari mineral lempung kaolin.
Tekstur batuan ini bervariasi, berikut ini adalah tekstur pokok dalam batulempung kaolinit :
1.      Breksiasi, materialnya terbentuk dari clast-clast batulempung angular penecontemporaneous, dapat mencapai diameter sampai beberapa cm.
2.      Pelletal, batuannya terbentuk dari partikel-partikel batulempung yang bulat atau agrerat lempung, berukuran silt (kadang disebut graupen) sampai partikel spheroidal yang berdiameter 10 mm atau lebih.
3.      Oolitik, terdiri dari oolitik spheroidal yang terlapisi secara konsentris oleh material yang kaya kaolin.
4.      Masif, merupakan mudstone yang berkembang dengan baik, terisi oleh kumpulan kristal kaolin yang ventikular dalam bagian yang tipis.
Batuan ini disebut juga “flint clay” (Keller, 1967) dan “tonstein (Moore, 1964).
Kaolin merupakan mineral yang melimpah dalam batuan ini, biasanya terjadi dalam bentuk kristal dan berasosiasi dengan sejumlah kecil kuarsa, siderit atau illit. Variasi batuannya berwarna putih sampai coklat keabu-abuan atau hitam tergantung dari bahan karbonan dan material ferrugenous yang mungkin ada. Hal ini kadang digambarkan sebagai tuf.
Asal usul batulempung kaolinit telah lama menjadi topik yang kontroversial dalam literatur ilmiah. Tinjauan komprehensif tentang terjadinya material secara petrografi dan geokimia diberiakan oleh Keller (1968, 1981) dan Loughnan (1978). Secara mekanik dijelaskan mengenai kekhususan mineral dan ciri-ciri teksturnya dibandingkan dengan sedimen lain dalam sekuen dimana batuan tersebut terbentuk, dikelompokkan dalam 2 kategori, yaitu :
1.      Autochthonous Origin
Meliputi pembentukan insitu dari kaolin dalam rawa batubara atau lingkungan lain yang serupa karena perubahan kimiawi atau biokimiawi dari sedimen volkaniklastik, epiklastik, atau bioklastik. Mekanisme seperti ini dibahas oleh Hosterman (1962), Moore (1964, 1968), Keller (1968, 1981), Price dan Duff (1969).
2.      Allochthonous Origin
Meliputi pembentukan kaolin, bauksit, atau aluminosilikat koloid karena pelapukan di luar rawa dan tertransport ke dalam rawa atau areal yang sesuai untuk pengemdapan akhir detritus kasar. Suatu mekanisme dari tipe ini dibahas oleh Loughnan (1970, 1975, 1978).
Menurut Ward (1978), perlapisan tipis batulempung kaolinit yang terjadi didalam lapisan batubara atau di dalam sekuen lapisan pembawa batubara secara luas telah digunakan sebagai lapisan penunjuk untuk korelasi stratigrafi.

Seat rock dan underclay

Batuan alas pada lapisan batubara terbentuk dari material yang sangat bervariasi, termasuk serpih, mudstone, batugamping dan batupasir. Lapisan ini biasanya masif tidak berlapis dan mungkin terdiri dari bekas akar tumbuhan yang tegak terhdap perlapisan atau memperlihatkan pola yang tidak teratur dari permukaan yang tergerus. Umumnya berwarna muda, tetapi material yang lebih gelap berwarna abu-abu dan coklat mungkin dapat muncul.
Karena terjadi di bawah lapisan batubara dan hadirnya akar tumbuhan dalam posisi tumbuh (relatif tegak terhadap bidang perlapisan) maka dikenal dengan “seat earth’’ atau “underclay”. Istilah lebih umum “seat rock” digunakan oleh Huddle dan Patterson (1961), baik untuk endapan berbutir kasar maupun halus.
Seat rock yang batuannya bervariasi dari batupasir kuarsa dan batulanau disebut dengan “ gannister”. Di lapangan batubara (coal field) di Eropa dan Inggris diterapkan untuk batulempung kaolin berbutir halus atau “ flint clays”. Dibanyak tempat, gannister tersusun oleh mudstone plastic dengan kuarsa, illit, monmorilonit, kaolinit, dan mineral lempung lain yang didapat dari studi detil (Odom dan Perham, 1968). Kalsit, siderit dan pirit mungkin juga hadir pada beberapa bagian dari lapisan gannister ini.
Ketebalannya bisa bervariasi dari beberapa cm sampai 10 m, tetapi biasanya sekitar 1 m. umumnya mempunyai kontak yang tegas dengan lapisan di atasnya, tetapi dapat juga bergradasi secara vertikal maupun lateralmenjadi batuan lain seperti batupasir, serpih, batugamping, dan batubara.
Sebagai tambahan, tidak semua lapisan ini ditumpangi batubara, misalnya apabila tanah peat tidak terakumulasi atau tererosi, sehingga istilah underclays dan seat earth mungkin menyesatkan. Juga pada batubara allochthonous, lapisan gannister tidak selalu hadir.
Asal mula batuan seat yang dianggap sebagai tanah atau substratum tempat tumbuhan tumbuh dan berkembang. Meskipun nampaknya seperti itu, namun pada saat tanah peat terakumulasi sampai ketebalan tertentu, akar tumbuhan dapat masuk ke dalam debris organiknya sendiri. Atas dasar alasan tersebut, ketebalan dan karakteristik batuan seat kurang menunjukkan adanya hubungan yang diendapkan di atasnya.
Tumbuhnya tumbuhan juga dapat berperan sebagai sebab tidak ada perlapisan di dalam bagian batuan serat, sementara kekompakan di sekitar struktur akar dapat berperan sebagai sebab banyaknya permukaan yang licin. Meskipun akumulasi lempung di perairan rawa, rupanya juga terkumpul dan proses kompaksi material semacam ini dapat meningkatkan berkembangnya permukaan licin.
Pada banyak seat cenderung diperkaya oleh kaolin dibandingkan dengan lutite dalam suatu sekuen. Hal ini mencerminkan proses semacam pelindian kimiawi atau biologis yang berasosiasi dengan pertumbuhan tumbuhan dan pembusukan tanah peat (Huddle dan patterson, 1961). Proses pembentukan kaolin denagn persyaratan ini kemungkinan sama dengan proses yang berasosiasi dengan batulempung kaolin murni dan proses pembentukan kaolin di dalam batubara itu sendiri.
Batubar seat berbutir halus dapat untuk bahan baku berbagai macam produk yang berasal dari batulempung (Odom dan Parham, 1968), disebut juga dengan “fireclays”.
Sifat batuannya yang plastis serta terdiri dari bermacam material, maka diperlukan pemahaman yang baik bila dilakukan penambangan bawah tanah.

Coal balls

Coal balls merupakan massa yang berbentuk tidak teratur sampai bentuk spheroidal dari bahan mineral yang terjadi di dalam suatu lapisan batubara. Umumnya terbentuk dari kalsit, dolomit, siderit, dan pirit dalam proporsi yang bervariasi, kadang menunjukkan suatu zonasi yang bervariasi dari beberapa cm, m sampai luas. Bila kaya pirit disebut “sulphur balls’.
Coal balls dapat sebagai sumber penelitian paleobotani lapisan batubara (Phillips, 1979), karena sisa tumbuhan terawet dengan baik dari berbagai jenis di dalam coal balls.
Tidak adanya pengaruh kompaksi pada fragmen organik, menunjukkan bahwa coal balls mengandung bahan mineral pada tahap awal pembentukannya. Tentu saja, batubara yang terbentuk juga dapat memperlihatkan bukti adanya kompaksi lipatan di sekitarnya.
Sangat umum ditentukan di dalam lapisan yang berasosiasi dengan lapisan marin, juga sebagai konkresi hadir pada lapisan atap maupun lapisan dasar.

 sumber :
 (Ward, C.R., 1984, Coal Geology and Coal Technology, Blackwell Scientific Publications, Singapore)